Minggu, 01 Juni 2014

Pertanyaan Retoris yang Tidak Tuntas

Pertanyaan adalah ekspresi (pernyataan) dari seseorang yang ingin tahu. Pertanyaan diungkapkan dalam kalimat tanya. Kalimat retoris atau pertanyaan retoris adalah pertanyaan yang tidak memerlukan tanggapan atau jawaban. Kalimat ini biasa disampaikan dalam pidato resmi, orasi politik, atau bahkan seminar ilmiah.

Sampai di sini, rasanya tidak ada yang salah dengan kalimat retoris, yang bertujuan sebagai gaya bahasa untuk memperindah. Namun, kebiasaan ini sering disalahgunakan atau setidaknya dapat mengganggu pencarian solusi yang seharusnya jadi tujuan akhir.

Mari kita simak pernyataan berikut ini:
Saya tidak habis pikir,
Kenapa orang yang terlibat dalam kekerasan masa lalu
malah dianggap mampu membawa  kedamaian dan ketentraman di masa depan?
Kenapa orang yang memiliki hutang trilyunan,
malah dianggap mampu memajukan kesejahteraan?
Catatan: saya tidak sedang membahas kebenaran pernyataan di atas, tetapi membahas ungkapan retorikanya.

Sebagai gaya retorika, tidak ada yang salah. Namun, rangkaian pernyataan retorika ini seringkali ditutup sampai di sini dan SELESAI. Atau topik berubah sebelum dituntaskan jawabannya. Pendengar pun merasa bahwa setelah seluruh kalimat diungkapkan, tidak perlu mendengarkan jawabannya. Alasannya, sebagai kalimat retorika memang tidak memerlukan jawaban.

Pada contoh di atas, sudah dinyatakan sendiri "Saya tidak habis pikir ...". Artinya, memang orator tidak paham. Apakah kemudian orator memberi jawaban? (ps: kalimat terakhir ini juga retoris, tetapi saya akan jawab.) Biasanya tidak. Biasanya operator alih-alih menjawab, orator mengalihkan topik.
Saya beberapa kali menemukan pernyataan semacam ini yang justru menjadi inti dari suatu seminar. Karena tidak ada jawaban yang disampaikan oleh orator, maka -dalam sesi tanya jawab- saya minta jawabannya. Lucunya, semuanya mentertawakan saya. Menurut saya, mereka lah yang lucu. Tepatnya ANEH. Harusnya, pembicara sudah melakukan penelitian dan dalam seminar ini menyampaikan jawaban (meski akan ada pertanyaan berikutnya). Namun, dengan bangga pembicara menyampaikan temuannya sebagai masalah dan tanpa arah solusi.

Pada contoh di atas, seandainya kita memahami jawabannya. Kita akan dapat menyelesaikan pokok masalahnya. Seandainya, jawabannya adalah
1. "ada inkonsistensi pola pikir" atau
2. "bangsa ini pelupa (sulit mengingat)" atau
3. "asumsinya yang salah" (contoh asumsi: orang itu terlibat kekerasan di masa lalu, padahal sebenarnya orang itu tidak terlibat, atau belum terbukti).
Maka untuk setiap jawaban kita punya langkah menuju solusi yang tepat. Contoh:
1. "inkonsistensi pola pikir", tunjukkan konsistensi.
2. "bangsa pelupa", buatlah catatan dan panduan agar ingatan lebih baik
3. "asumsi salah", perbaiki asumis atau buktikan.

Jika tidak sanggup mengerjakan solusi di atas, maka mempertanyakan kembali (berulang-ulang) sama saja dengan keluhan atau sekedar pelampiasan emosi. Sebaiknya, fokuskan pertanyaan kepada bagaimana menyelesaikan solusi daripada terus-menerus membuang energi emosi.

BTW, jika ini sekedar politik, maka politikus semacam ini sebaiknya tidak kita ikuti. Jangan pilih politikus ini, karena dia tidak akan bisa memberi solusi melainkan menambah pertanyaan (retoris).


Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan kalimat retorika ini mempengaruhi pola pikir yang memberi dampak negatif. Orang menganggap bahwa normal saja mengungkapkan masalah tanpa perlu menemukan solusi. Lalu menjadi kebiasaan.

Kalimat retorika digunakan sebagai pelampiasan emosi keluhan. Sedikit pelampiasan dapat memberi kelegaan, namun sebenarnya emosi yang dituruti menuntut lebih. Selanjutnya, emosi juga menyerap energi dan waktu. Kita harus berhati-hati soal ini. Arahkan emosi dengan tepat.

Contoh ungkapan retorika sehari-hari:
Sudah berkali-kali diberitahu jangan melakukan ini,
kenapa sih masih juga melakukan hal yang sama?
Bagi saya, alih-alih melampiaskan emosi dalam kalimat retorika di atas, lebih baik energi dan waktu diarahkan untuk menganalisa. Misalnya saya mencoba menemukan daya tarik apa sehingga seseorang "melakukan hal yang sama". Mengulang retorika di atas, justru akan menguatkan perlawanan.

Orang yang mampu ber-retorika menimbulkan kesan lebih pintar. Perhatikan ekspresi wajah dan tubuh pengungkap retorika. Mereka tampak lebih hebat, malah menjadi superior. Padahal, mereka -para orator ini- sangat mungkin tidak tahu jawabannya. Bayangkan, seandainya (sangat mungkin) di antara para pendengarnya ADA yang tahu jawabannya. Betapa menjemukannya orator itu.

Bagi saya, mendengar orator yang ber-retorika adalah kesempatan untuk menguji apakah ada hal baru yang dipersoalkan. Karena berfokus pada pencarian solusi, saya memperhatikan apakah solusi untuk pertanyaan itu saya sudah punya. Jika belum, maka saya akan coba gali dan temukan. Jika sudah, maka saya menguji apakah solusi itu sudah lengkap. Semuanya untuk memperkaya kehidupan ini, khususnya saya pribadi.

(Saya kira ini bagian dari positive thinking for better life)

Tidak ada komentar: